OPINI

Penceramah Radikal, Mengancam Siapa?

Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo menyampaikan empat pesan bagi jajaran TNI dan Polri. Yang menjadi perhatian adalah salah satu pesan yang disampaikan ialah agar para Istri TNI dan Polri tidak mengundang penceramah radikal di pengajian.

Hal tersebut disampaikan pada saat menghadiri Rapim TNI-Polri 2022 yang diselenggarakan di Mabes TNI Jakarta, Selasa(1/3/2022)

Dalam sambutannya itu pula, ia mengatakan bahwa aparat TNI dan Polri tidak bisa ikut dalam urusan Demokrasi seperti halnya masyarakat sipil.
Menurutnya hal ini yang perlu digarisbawahi, yaitu soal disiplin nasional yang masih lemah.

Bukan tanpa sebab, teguran tersebut dikarenakan terpantau nya perdebatan menyangkut pembangunan IKN di grup whatsapp. “Saya lihat di WA grup, kalau dikalangan sendiri boleh. Hati-hati kalau dibolehkan dan kalau diterus-teruskan hati-hati. Misalnya bicara mengenai IKN, enggak setuju IKN, apa?”, ujarnya.
Ia menambahkan, jika hal tersebut sudah menjadi keputusan pemerintah dan disetujui DPR.
Dan kalau didalam disiplin TNI-Polri sudah tidak bisa diperdebatkan. Apalagi di WA grup yang mudah dibaca.

Jokowi menekankan, disiplin aparat berbeda dengan disiplin sipil dan dibatasi oleh aturan pimpinan. Sehingga apa yang diminta oleh atasan harus dipatuhi secara tegak lurus oleh bawahannya. KOMPAS.com (2/3/2022)

loading...

Hal senada juga didukung oleh Staf Tenaga Ahli Kantor Kepresidenan Ali Mochtar Ngabalin, bahwa peringatan Jokowi sudah tepat. Dia mengatakan paham radikal tersebut diibaratkan kanker yang sudah masuk stadium empat.
Ia juga menyebut jikalau penceramah yang membandingkan antara pilih Al Qur’an atau Pancasila, maka pasti itulah paham radikal. Suara.com (6/3/2022)

Apa Sih Radikal Itu?, Tolong Jelaskan!

Viral rilisan BNPT terkait ciri penceramah radikal. Ada lima ciri yang disebut BNPT, dua diantaranya mengajarkan ajaran anti Pancasila dan pro paham Khilafah. Berikutnya mempunyai sikap anti pemerintah yang sah dengan sikap membenci dengan menyebar hoax dan fitnah.

Sontak saja rilisan tersebut mendapat kritikan oleh sejumlah tokoh dan kalangan akademisi.
Amirsyah Tambunan yang menjabat sebagai Sekjen Majelis Ulama Indonesia(MUI) mengkritik bahwasannya tidak ada yang namanya paham Khilafah. Ia lantas menyinggung Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa tahun 2021 yang memberikan rekomendasi kepada masyarakat dan pemerintah memahami jihad dan Khilafah(kepemimpinan Islam) adalah ajaran Islam untuk mengatasi problem umat dan bangsa.
Lanjutnya, ia membandingkan kapitalisme, liberalisme dan para oligarki yang diterapkan saat ini, yang membuat ekonomi dan rakyat terpuruk, apakah sesuai dengan Pancasila. Ungkapnya dikutip Mediaumat.id dari CNN Indonesia, Selasa(8/3/2022)

BACA JUGA :  Kawal Musda Golkar Mura

Secara etimologi, radikal berasal dari kata latin yakni radix/radici yang berarti ‘akar’.
Lalu dalam politik, istilah radikal mengacu pada individu, gerakan atau partai untuk memperjuangkan perubahan tatanan sosial secara mendasar.

Bukankah para pejuang kemerdekaan dahulu juga dikatakan ekstrimis radikal oleh para penjajah kolonial saat mengupayakan kemerdekaan negeri ini?

Kemudian sekarang sebutan radikal hanya disematkan kepada penceramah yang kritis terhadap kebijakan penguasa yang tidak memihak rakyat kecil?, penceramah yang menasihati penguasa agar melakukan perbaikan negeri secara mendasar berdasarkan aturan-aturan Allah swt?

Kenapa sebutan radikal tidak disematkan seperti koruptor radikal, oligarki radikal, atau OPM teroris radikal yang kita sama-sama tau sepak terjangnya menghina kedaulatan negeri ini.

Dalam dunia akademik, Prof. Suteki menjelaskan bahwa dalam perguruan tinggi, punya tugas, namanya merohaniakan ilmu dengan cara tidak membuat ilmu itu menjadi pragmatisme, tetapi sampai pada realita berpikir yang terdalam dan mendalam serta mengakar, menurutnya itu yang disebut karakter radikal.
Bahkan ia mengatakan jika ilmu tidak akan menemukan progresifitas jika tidak melalui proses berpikir radikal.

Jadi istilah radikal yang digunakan oleh para punggawa negeri ini pun masih ambigu. Karena bisa bermakna baik atau buruk.
Cendekiawan muslim, Ustadz Ismail Yusanto memaparkan bahwa kategori penceramah radikal adalah bukan kategori agama, melainkan politik. Sebagai kategori politik, maka ia akan bergantung pada perspektif politik, tergantung pada pandangan politik dan kepentingan politik bahkan juga pada ideologi politik. Catatan Demokrasi tvOne, Selasa(8/3/2022)

Kepekaan Yang Mati

Sungguh sangat disayangkan pernyataan yang disampaikan oleh seorang pemimpin, seolah tak peka atas kondisi negeri ini. Tak henti-hentinya memprovokasi umat dengan narasi-narasi yang menyudutkan islam sehingga menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Tatkala rakyat harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan perut.
Apakah radikalisme yang jadi urgent bagi para pemangku jabatan?

BACA JUGA :  Sistem Pemilu Bakal Terapkan Proporsional Tertutup?

Disaat aksi tawur dan gaul bebas remaja merebak, antrian panjang minyak goreng, korupsi yang menjamur, liberalisasi ekonomi dan sumber daya alam, impor kedelai, sampai pandemi yang tak kunjung usai dan sederet permasalahan lainnya.

Publik jadi bertanya, apakah tudingan penguasa kepada pihak yang dicap radikal ini karena dianggap akan mengganggu stabilitas kursi?

Umat Islam Diperintah Berislam Kaffah

يايها الذين امنوا ادخلوا في السلم كافة ولا تتبعوا خطوات الشيطن انه لكم عدو مبين{٢:٢٠٨}
Yaa ayyuhalladzina aamanudkhulu fiissilmi kaaffataw walaa tattabi’u khutuwaatissyaithoon. Innahuu lakum aduwwummbubiin.
Artinya: ” Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu”.{2:208}

Dari Ibnu Katsir, bahwa Allah Ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya agar berpegang kepada seluruh tali islam dan syaratnya, mengerjakan perintah-Nya, serta menjauhi larangan-Nya sekuat tenaga.

Ditengah derasnya propaganda islamophobia dan moderasi, rupanya ghiroh umat mempelajari islam juga semakin besar.

Hal ini wajar saja, dikarenakan fitrah manusia terhadap agama tidak dapat dihilangkan. Dan setiap manusia yang berakal dan berhati nurani, akan mengakui bahwa islam adalah satu-satunya agama yang sesuai fitrah dan memuaskan akalnya.
Apalagi ditengah derasnya fitnah dan huru-hara zaman. Disamping juga menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara negara, disitulah umat mulai menyadari bahwasannya islam bukan hanya agama spiritual semata, namun islam adalah sebuah peraturan hidup lengkap dan sempurna berasal dari Sang Pencipta yang memiliki konsep baku penyelesaian persoalan negeri.

Rupanya hal inilah yang tidak diinginkan oleh penguasa boneka barat. Demi menjaga eksistensi demokrasi kapitalis, mereka rela memusuhi ajaran islam dan memfitnah pengembannya.

Ya, rupanya barat sudah paham jika islam adalah sebuah ideologi yang bisa menyingkirkan peradaban mereka atas negeri-negeri muslim.
Sebuah proyek besar bernama islamophobia dan moderasi yang dihembuskan di negeri ini membuat umat islam takut dengan agamanya sendiri. Bahkan juga ikut termakan opini menyesatkan tentang islam.

BACA JUGA :  Ketokohan Jadi Kunci Memenangkan Pemilu 2019

Hal tersebut adalah suatu kewajaran. Karena sistem yang diterapkan semenjak kita lahir bukanlah yang berasal dari islam yang melingkupi seluruh sendi kehidupan kaum muslimin.
Umat bergelimang dalam kebodohan dan pragmatisme yang mengurung mereka dalam keterpurukan.
Tugas seorang pemimpin yang selayaknya mendidik rakyat, menjadikan bertakwa, menjaga akidah, harta dan nyawa rakyatnya.

Demokrasi, sistem kufur yang diekspor barat di negeri ini telah memunculkan manusia-manusia pembuat hukum. Padahal jelas didalam Islam bahwa yang menetapkan hukum hanyalah Allah SWT.
Lihatlah, betapa inkonsistennya para penguasa yang mengaku berdemokrasi. Mereka bebas menentukan posisi benar dan salah. Mereka akan gunakan kekuatan untuk menyingkirkan siapa saja yang dianggap membahayakan kursi. Baik itu narasi buruk, pembusukan karakter, hingga menghilangkan nyawa sekalipun.

Aparat penegak hukum digunakan sebagai alat kekuasaan, bukan sebagai pembela dan penegak kebenaran.
Benarlah apa yang disabdakan Rasul Saw yang diriwayatkan ath-Thabrani dalam al-Kabiir yang artinya: “Akan ada diakhir zaman para penegak hukum yang pergi dengan kemurkaan Allah dan kembali dengan kemurkaan Allah, maka hati-hatilah engkau agar tidak menjadi kelompok mereka”.

Wahai para penegak hukum,! Kembalilah pada fitrah yang Allah tetapkan. Raihlah pengabdian tertinggi dengan menjadi para penolong agama Allah, yang memerangi kebatilan di jalan Allah. Yang berperang dibawah panji-panji Rasulullah SAW hanya untuk meninggikan kalimat-Nya.

Wallahu a’lam bisshowwab.

*Penulis adalah aktivis muslimah

Like
Like Love Haha Wow Sad Angry
1

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Close