OPINI

Kesenjangan di Negeri Demokrasi

Ketika Manusia Hanya Bisa Menghitung Kesusahannya, Manusia Tidak Menghitung Kebahagiaannya

Ditulis oleh : Widodo, SH. (Praktisi Hukum – JHW LAW FIRM)

INDONESIA sedang memasuki era baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Harapan rakyat begitu tinggi, Harga pangan terkendali, lapangan kerja terbuka luas, dan kesenjangan sosial menyempit. Namun realitas di lapangan menunjukkan ironi, rakyat lebih sering menghitung kesusahannya daripada kebahagiaannya.

Secara prosedural, demokrasi kita hidup. Rakyat bisa memilih, berbicara, bahkan mengkritik. Namun secara substansial, demokrasi masih timpang. Data BPS Maret 2025 mencatat 23,85 juta penduduk miskin. Sementara itu, LPS menyebut hanya 0,03% rekening bank dengan saldo di atas Rp 5 miliar menguasai lebih dari Rp 9.000 triliun simpanan nasional.

Ketimpangan ekstrem ini menunjukkan demokrasi kita lebih banyak memberi ruang pada segelintir elite ketimbang menghadirkan kesejahteraan rakyat banyak. Demokrasi akhirnya tampak seperti panggung, di mana rakyat hanya diminta hadir lima tahun sekali, sementara hasil pembangunan dinikmati kelompok terbatas.

Prabowo sering berbicara tentang kedaulatan pangan dan nasionalisme ekonomi. Tetapi kata-kata itu akan kehilangan makna bila tidak diikuti dengan langkah konkret:

loading...

• Pajak progresif dan pajak kekayaan untuk menyeimbangkan dominasi kaum ultra kaya.
• Reformasi agraria sejati agar petani benar-benar memiliki akses atas tanah dan produksi.
• Pengendalian harga kebutuhan pokok agar inflasi pangan tidak terus menghantam rakyat kecil.
• Pemutusan cengkeraman oligarki yang membajak demokrasi demi kepentingan sempit.

Kebijakan ini bukan semata pilihan politik, melainkan mandat konstitusi. UUD 1945 sudah jelas:

• Pasal 33 ayat (3): “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
• Pasal 34 ayat (1): “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”

BACA JUGA :  PILKADA MURATARA (DOB) Antara Optimis dan Pesimis

Konstitusi memberi arah, Kekayaan nasional
harus dipakai untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Karena itu, menekan kesenjangan sosial bukan sekadar janji politik, melainkan kewajiban hukum.

Jika Prabowo gagal menutup jurang kesenjangan, risikonya bukan hanya ekonomi yang stagnan. Yang lebih berbahaya adalah krisis kepercayaan terhadap demokrasi. Rakyat bisa kehilangan keyakinan bahwa demokrasi mampu menghadirkan kesejahteraan.

Dalam kondisi itu, ruang terbuka bagi munculnya populisme ekstrem, politik identitas, bahkan godaan otoritarianisme dengan dalih “menyelamatkan rakyat dari demokrasi yang gagal.” Kesenjangan sosial adalah bom waktu: jika dibiarkan, ia akan meledak dalam bentuk keresahan sosial dan konflik horizontal.

Presiden Prabowo berada di persimpangan sejarah. Ia bisa dikenang sebagai pemimpin yang mengubah wajah demokrasi Indonesia menjadi lebih adil, atau sekadar menjadi presiden yang melanjutkan tradisi elitisme.

Rakyat sudah lelah menghitung kesusahannya. Kini saatnya negara, melalui kepemimpinan Prabowo, memberi alasan nyata agar rakyat bisa mulai menghitung kebahagiaannya.

Like
Like Love Haha Wow Sad Angry

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Close